Minggu, 10 Mei 2015

PENDIDIKAN JASMANI HARUSNYA DITANAMKAN SEJAK DINI



JUDUL
PENDIDIKAN JASMANI HARUSNYA
DITANAMKAN SEJAK DINI
Mata Kuliah : Penulisan karya Ilmiah
Oleh :
Ma’rif Azizan VI G
Persoalan yang sangat mendasar dalam  pendidikan jasmani bukanlah semata-mata bagaimana proses meningkatkan efektivitas belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.  Di dalamnya juga terkandung  beberapa tuntutan perubahan pada domain kognitif, afektif dan psikomotor di tingkat mikro individual.  Efektivitas proses pendidikan dimaksud tidak hanya dipengaruhi oleh aspek fisik, biologis dan psikologisnya saja, tetapi juga dari aspek konteks lingkungan geografis. Itulah sebabnya  penyediaan pengalaman belajar yang mengandung nilai-nilai kependidikan, implimentasi pendekatan dan model pembelajaran yang serasi dengan substansi tugas ajar dan beberapa sumber belajar lainnya.
Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan jasmani dewasa ini adalah terjadinya perubahan nilai-nilai budaya.  Perubahan dimaksud berupa kultur gerak.  Menurut Bart Crum (1994) dalam Rusli Lutan (2003:101) ‘movement culture’,  yakni terjadi perubahan kebiasaan aktif bergerak menjadi kebiasaan kurang gerak atau bahkan fenomena gaya hidup diam.  Pergeseran gaya hidup itu,  dipicu oleh aneka kemudahan dalam kehidupan sehari-hari yang di dukung oleh perubahan taraf hidup, penggunaan teknologi komunikasi dan transportasi serba otomatis sehingga di kalangan anak-anak yang fitrahnya sebagai mahluk bermain (homo luden) sangat berkurang dan cenderung menghilangkan aktivitas fisik dalam berbagai kegiatannya.
Berikut dijelaskan mengenai isu pendidikan jasmani yang diterapkan Lingkungan Masyarakat Indonesia :
Isu Ketidak Berhasilan Kurikulum Pendidikan Jasmani
Idealnya keberhasilan kurikulum pendidikan jasmani dapat ditinjau dari terdidiknya seseorang melalui aktivitas jasmani yang disebut dengan istilah physically educated person (PEP). Istilah ini  merujuk kepada standar National Association for Sport and Physical Education (NASPE).    Menurut NASPE (1992); dalam Adang Suherman (2008:11) di Amerika Serikat karakteristik PEP dimaksud adalah :
(a) memiliki beberapa keterampilan melakukan aktivitas fisik.
(b) memiliki kebugaran jasmani yang baik,
(c) dapat berpartisipasi secara teratur melakukan aktivitas jasmani,
(d) mengetahui akibat dan manfaat dari aktivitas jasmani, dan (e) dapat memahami melakukan aktivitas jasmani menjadi hidup sehat.
Isu Kondisi Pendidikan Jasmani Saat Ini
Pendidikan jasmani saat ini terbilang menyedihkan dan bahkan sering dilecehkan. Hal ini diungkapkan Balitbang Diknas (2008:10) yang menyatakan  ‘menjelang ujian akhir di beberapa sekolah, pendidikan jasmani sering tidak dilaksanakan dengan alasan agar para anak tidak terganggu’.  Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Aip Syarifuddin (2002) dalam Balitbang Diknas, (2008:9) yaitu ‘kualitas guru pendidikan jasmani di beberapa sekolah pada umumnya kurang memadai, mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya secara professional’.  Kondisi saat ini menunjukkan banyak guru,  ketika membuka pelajaran,  menyuruh anak hanya senam dan lari sebagai bentuk pemanasan.
Kemudian teknik dasar yang diberikan dalam suasana tegang, karena guru pendidikan jasmani dianalogikan sebagai penegak kedisiplinan dan kekerasan di sekolah.  Terkadang anak disuruh melakukan bermain, sementara dia duduk di bawah pohon sambil memegang peluit.  Peristiwa ini telah berlangsung dari waktu ke waktu sehingga tidak terpikir olehnya untuk menciptakan strategi pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan.
Isu Ditinjau Dari Olahraga Prestasi
Performan atlet Indonesia dalam event olahraga internasional seperti ASIAN Games, SEA Games, atau dalam PON dan PORDA akhir-akhir ini sangat mengecewakan.  Rendahnya prestasi olahraga seperti ini, merupakan cerminan ketidakberhasilan pembibitan melalui pendidikan jasmani sejak usia SD. Walaupun disadari pendidikan jasmani tidak bertujuan menciptakan prestasi, tetapi misi utamanya berkontribusi terhadap pembentukan keterampilan dasar berolahraga.  Keadaan ini diperparah lagi oleh sikap stakeholder mengabaikan arti pentingnya pendidikan jasmani di sekolah-sekolah.  Seperti pemberian tugas guru yang tidak berlatar belakang pendidikan jasmani  untuk mengajar.  Kejadian ini apabila dibiarkan terus menerus, maka tidak akan berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi olahraga prestasi di tingkat  Nasional.
Isu Ketidak Cukupan Belajar Gerak
Isu ini berkenaan dengan waktu pelaksanaan pendidikan jasmani tidak efektif.  Siedentop, (1980:25) pernah meneliti ‘Academic learning time-physical education (ALT-PE) hasilnya sebagai berikut:
Temuan penelitian Siedentop menegaskan bahwa ALT-PE merupakan acuan waktu keberhasilan anak dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani hanya berkisar 80 % waktu yang efektif. Sisanya terbuang karena terjadi pergantian dalam melakukan tugas gerak.
Kesimpulan yang diperoleh yaitu  ‘penggunaan waktu pembelajaran pendidikan jasmani tidak mencukupi,  banyak waktu habis terbuang digunakan berjalan ke tempat lapangan olahraga, banyak waktu terbuang karena menunggu giliran menggunakan fasilitas dan alat olahraga. Hanya sepertiga  sisa waktu yang dapat digunakan melaksanakan inti pelajaran’.   Berdasarkan hasil penelitian tersebut menyarankan bahwa indikator keberhasilan waktu pendidikan jasmani yang efektif adalah “jumlah waktu aktif berlatih (JWAB) banyak, waktu menunggu giliran sedikit, dan proses pembelajaran melibatkan partisipasi anak dan guru secara aktif”.
Pendidikan jasmani merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah yang menggunakan gerak sebagai media pembelajaran.  Dalam kaitan ini, Wuest dan Bucher (1995:97) mengungkapkan,  bahwa “di  Eropa-saat ini menerapkan aktif bergerak minimal 90 menit setiap harinya untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan fisik masyarakatnya”.  
Pendidikan jasmani sedikit sekali mengalami kemajuan yang dicapai dari sisi pengembangan kurikulum. Sebabnya karena sedikit orang yang mau menekuni berbagai disiplin ilmu sebagai landasan pemahaman pendidikan jasmani dan olahraga.  Di sisi lain, kurangnya publikasi hasil penelitian pendidikan jasmani Indonesia ke dalam jurnal nasional maupun internasional.  Kekurangan publikasi seperti inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia masih sebagai konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Diperparah lagi oleh ketiadaan bukubuku pendidikan jasmani dan olahraga dengan disiplin ilmu yang mumpuni.  Manakala masalah ini dibiarkan terus menerus, dampak penggiring lainnya munculah masalah rendahnya kebugaran jasmani yang pada akhirnya menimbulkan penyakit hipokinetik, dan berdampak pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisik anak. 
Isu Pendidikan Jasmani Mempromosikan Kebugaran Jasmani Anak
Ditegaskan bahwa tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk membantu anak mengembangkan gaya hidup aktif, hidup sehat dan memiliki kebugaran fisik, melalui berbagai aktivitas fisik serta belajar keterampilan berolahraga.   Jadi pemikiran di atas, menempatkan pendidikan jasmani sebagai satu sumber untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak-anak di sekolah.  Selayaknya anak yang mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani memiliki tingkat kebugaran jasmani yang baik.  Namun kenyataannya saat ini, masih banyak anak-anak memiliki kebugaran jasmani yang rendah karena mengalami beberapa persoalan, diantaranya adalah obesitas.
Isu Obesitas Menyebabkan Rendahnya Kebugaran Jasmani
Hasil survei sosial ekonomi nasional, (Susenas 2004)  dalam Nerry A Sani, (2004:2) menyatakan ‘penyebab rendahnya kebugaran jasmani selain pola makan tidak seimbang, kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah, juga masalah kegemukan (obesitas)’.  Menelaah penyebab obesitas, pada umumnya berhubungan dengan pola makan tidak seimbang antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Orang yang mengalami obesitas,  porsi makannya lebih banyak karena tidak aktifnya hipotalamus.  Hipothalamus adalah bagian otak yang memberi sinyal kenyang sepuluh menit sesudahnya.
Isu Rendahnya Kebugaran Jasmani Anak
Sekarang ini penyakit jantung tidak lagi menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak-anak dan remaja sebagai dampak rendahnya kebugaran jasmani di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.  Rendahnya kebugaran jasmani tersebut, terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh tim pengembang Sport Development Index (Mutohir, dan Ali Maksum, 2007: 52) meneliti kebugaran jasmani pelajar di seluruh Indonesia.  Hasilnya tidak ada yang baik sekali atau 0 %, katagori baik hanya 5,66 %, sedang 37,66 %, kurang 45,97 %, dan kurang sekali 10,71 %.   Perihal ini menurut  (WHO 2004)  apabila dapat dicegah lebih awal, maka akan mengurangi angka kematian sebesar 2 juta orang atau 5479 orang yang meninggal dunia akibat penyakit hypokinetik setiap tahunnya. (G. Petersen 2004;2).  Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, sehingga dapat dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat selama ini.  Karena itu, masyarakat perlu didorong untuk melakukan berbagai aktivitas jasmani secara sistematis, dan berkelanjutan.
Isu Pentingnya Kebugaran Jasmani Meningkatkan Kualitas Hidup
Pemerintah Republik Indonesia melalui kerjasama Departemen Kesehatan (Depkes) dengan instansi yang terkait, berupaya menyusun strategi kebijakan pembangunan baru didasarkan pada “Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan dan Kebugaran Jasmani”.   Gerakan ini dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada pembukaan rapat kerja kesehatan nasional Depkes pada tanggal 1 Maret 1999 sebagai sebuah strategi.  Strategi ini merupakan strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010 dikenal sebagai paradigma sehat,  yaitu fit for health atau move for health.  Artinya bergerak agar sehat dan bugar.
(Pribakti, 2009:10b).   Program Indonesia sehat 2010 tersebut, menghendaki agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat berperilaku hidup sehat dengan mengoptimalkan lingkungannya untuk mewujudkan masyarakat madani (Civil Society), yaitu masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan.  Jika pembinaan tersebut dibarengi dengan pembinaan bakat olahraga, maka di kemudian hari akan menghasilkan prestasi olahraga.
Isu Kemampuan Mempelajari Gerakan Yang Baru (Motor Educability)
Isu ini berpangkal akibat ketidakpahaman guru tentang hakikat tubuh anak yang sesungguhnya berbeda dengan fisik orang dewasa.  Keadaan ini diperparah lagi adanya perilaku guru cenderung malas dan kurang mencintai tugas itu dengan sepenuh hati,  sehingga dalam memberikan tugas geraknya melanggar prinsip developmentally appropriate practice (DAP), yakni tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak.  Kepada anak diberikan tugas gerak melebihi dari kemampuan fungsional tubuhnya, sehingga untuk mempelajari gerakan yang baru (new motor skill) anak-anak mengalami hambatan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani.
Motor educability menurut Rusli Lutan (1988:115) adalah kemampuan umum untuk mempelajari tugas gerak secara cermat dan cepat. Motor educability juga merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi tingkat penguasaan suatu keterampilan gerak. Jika seseorang memperlihatkan penampilan (performa) dalam menguasai gerakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik, maka orang itu dikatakan memiliki tingkat motor educability yang baik pula. Selanjutnya Rusli Lutan (1988:116) menegaskan bahwa motor educability erat hubungannya dengan koordinasi gerak. Semakin tinggi tingkat motor educabilitynya, maka semakin tinggi pula koordinasi geraknya. Menurut Harsono (1988:220) yang dikatakan koordinasi gerak yang baik, bukan saja mampu melakukan suatu keterampilan secara sempurna, akan tetapi juga mudah dan cepat dalam mempelajari gerakan yang baru (new motor skill). Faktor semacam inilah yang menjadi fukos dalam penelitian ini, karena selain bisa dijadikan pertimbangan untuk menetapkan suatu keterampilan, juga untuk membedakan dan untuk mengelompokkan anak ke dalam  kelompok individu lainnya, baik dalam berolahraga maupun sosial berbudaya serta perilaku berkarakter dalam kehidupan masyarakatnya.