JUDUL
PENDIDIKAN JASMANI HARUSNYA
DITANAMKAN SEJAK DINI
Mata Kuliah : Penulisan karya Ilmiah
Oleh :
Ma’rif Azizan VI G
Ma’rif Azizan VI G
Persoalan yang sangat
mendasar dalam pendidikan jasmani
bukanlah semata-mata bagaimana proses meningkatkan efektivitas belajar mengajar
untuk mencapai tujuan pendidikan. Di
dalamnya juga terkandung beberapa
tuntutan perubahan pada domain kognitif, afektif dan psikomotor di tingkat
mikro individual. Efektivitas proses
pendidikan dimaksud tidak hanya dipengaruhi oleh aspek fisik, biologis dan
psikologisnya saja, tetapi juga dari aspek konteks lingkungan geografis. Itulah
sebabnya penyediaan pengalaman belajar
yang mengandung nilai-nilai kependidikan, implimentasi pendekatan dan model
pembelajaran yang serasi dengan substansi tugas ajar dan beberapa sumber
belajar lainnya.
Permasalahan utama
yang dihadapi pendidikan jasmani dewasa ini adalah terjadinya perubahan
nilai-nilai budaya. Perubahan dimaksud
berupa kultur gerak. Menurut
Bart Crum (1994) dalam Rusli Lutan (2003:101) ‘movement culture’, yakni terjadi perubahan kebiasaan aktif
bergerak menjadi kebiasaan kurang gerak atau bahkan fenomena gaya hidup
diam. Pergeseran gaya hidup itu, dipicu oleh aneka kemudahan dalam kehidupan
sehari-hari yang di dukung oleh perubahan taraf hidup, penggunaan teknologi
komunikasi dan transportasi serba otomatis sehingga di kalangan anak-anak yang
fitrahnya sebagai mahluk bermain (homo luden) sangat berkurang dan cenderung
menghilangkan aktivitas fisik dalam berbagai kegiatannya.
Berikut dijelaskan
mengenai isu pendidikan jasmani yang diterapkan Lingkungan Masyarakat Indonesia
:
Isu Ketidak Berhasilan Kurikulum
Pendidikan Jasmani
Idealnya keberhasilan kurikulum
pendidikan jasmani dapat ditinjau dari terdidiknya seseorang melalui aktivitas
jasmani yang disebut dengan istilah physically educated person (PEP). Istilah
ini merujuk kepada standar National
Association for Sport and Physical Education (NASPE). Menurut NASPE (1992); dalam Adang Suherman
(2008:11) di Amerika Serikat karakteristik PEP dimaksud adalah :
(a) memiliki beberapa keterampilan
melakukan aktivitas fisik.
(b) memiliki kebugaran jasmani
yang baik,
(c) dapat berpartisipasi secara
teratur melakukan aktivitas jasmani,
(d) mengetahui akibat dan manfaat
dari aktivitas jasmani, dan (e) dapat memahami melakukan aktivitas jasmani
menjadi hidup sehat.
Isu Kondisi Pendidikan Jasmani
Saat Ini
Pendidikan jasmani
saat ini terbilang menyedihkan dan bahkan sering dilecehkan. Hal ini
diungkapkan Balitbang Diknas (2008:10) yang menyatakan ‘menjelang ujian akhir di beberapa sekolah,
pendidikan jasmani sering tidak dilaksanakan dengan alasan agar para anak tidak
terganggu’. Pernyataan serupa juga
diungkapkan oleh Aip Syarifuddin (2002) dalam Balitbang Diknas, (2008:9) yaitu
‘kualitas guru pendidikan jasmani di beberapa sekolah pada umumnya kurang
memadai, mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya secara professional’. Kondisi saat ini menunjukkan banyak
guru, ketika membuka pelajaran, menyuruh anak hanya senam dan lari sebagai
bentuk pemanasan.
Kemudian teknik dasar
yang diberikan dalam suasana tegang, karena guru pendidikan jasmani
dianalogikan sebagai penegak kedisiplinan dan kekerasan di sekolah. Terkadang anak disuruh melakukan bermain,
sementara dia duduk di bawah pohon sambil memegang peluit. Peristiwa ini telah berlangsung dari waktu ke
waktu sehingga tidak terpikir olehnya untuk menciptakan strategi pembelajaran
yang lebih menarik dan menyenangkan.
Isu Ditinjau Dari Olahraga
Prestasi
Performan atlet
Indonesia dalam event olahraga internasional seperti ASIAN Games, SEA Games, atau
dalam PON dan PORDA akhir-akhir ini sangat mengecewakan. Rendahnya prestasi olahraga seperti ini,
merupakan cerminan ketidakberhasilan pembibitan melalui pendidikan jasmani
sejak usia SD. Walaupun disadari pendidikan jasmani tidak bertujuan menciptakan
prestasi, tetapi misi utamanya berkontribusi terhadap pembentukan keterampilan
dasar berolahraga. Keadaan ini
diperparah lagi oleh sikap stakeholder mengabaikan arti pentingnya pendidikan
jasmani di sekolah-sekolah. Seperti
pemberian tugas guru yang tidak berlatar belakang pendidikan jasmani untuk mengajar. Kejadian ini apabila dibiarkan terus menerus,
maka tidak akan berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi olahraga prestasi di
tingkat Nasional.
Isu Ketidak Cukupan Belajar Gerak
Isu ini berkenaan dengan waktu
pelaksanaan pendidikan jasmani tidak efektif.
Siedentop, (1980:25) pernah meneliti ‘Academic learning time-physical
education (ALT-PE) hasilnya sebagai berikut:
Temuan penelitian
Siedentop menegaskan bahwa ALT-PE merupakan acuan waktu keberhasilan anak dalam
mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani hanya berkisar 80 % waktu yang
efektif. Sisanya terbuang karena terjadi pergantian dalam melakukan tugas
gerak.
Kesimpulan yang
diperoleh yaitu ‘penggunaan waktu
pembelajaran pendidikan jasmani tidak mencukupi, banyak waktu habis terbuang digunakan
berjalan ke tempat lapangan olahraga, banyak waktu terbuang karena menunggu
giliran menggunakan fasilitas dan alat olahraga. Hanya sepertiga sisa waktu yang dapat digunakan melaksanakan
inti pelajaran’. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut menyarankan bahwa indikator keberhasilan waktu pendidikan
jasmani yang efektif adalah “jumlah waktu aktif berlatih (JWAB) banyak, waktu
menunggu giliran sedikit, dan proses pembelajaran melibatkan partisipasi anak
dan guru secara aktif”.
Pendidikan jasmani
merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah yang menggunakan gerak sebagai
media pembelajaran. Dalam kaitan ini,
Wuest dan Bucher (1995:97) mengungkapkan,
bahwa “di Eropa-saat ini
menerapkan aktif bergerak minimal 90 menit setiap harinya untuk meningkatkan
kebugaran dan kesehatan fisik masyarakatnya”.
Pendidikan jasmani
sedikit sekali mengalami kemajuan yang dicapai dari sisi pengembangan
kurikulum. Sebabnya karena sedikit orang yang mau menekuni berbagai disiplin
ilmu sebagai landasan pemahaman pendidikan jasmani dan olahraga. Di sisi lain, kurangnya publikasi hasil
penelitian pendidikan jasmani Indonesia ke dalam jurnal nasional maupun
internasional. Kekurangan publikasi
seperti inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia masih sebagai konsumen, bukan
penghasil ilmu yang tekun. Diperparah lagi oleh ketiadaan buku‑buku
pendidikan jasmani dan olahraga dengan disiplin ilmu yang mumpuni. Manakala masalah ini dibiarkan terus menerus,
dampak penggiring lainnya munculah masalah rendahnya kebugaran jasmani yang
pada akhirnya menimbulkan penyakit hipokinetik, dan berdampak pula terhadap
pertumbuhan dan perkembangan fisik anak.
Isu Pendidikan Jasmani
Mempromosikan Kebugaran Jasmani Anak
Ditegaskan bahwa
tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk membantu anak mengembangkan gaya
hidup aktif, hidup sehat dan memiliki kebugaran fisik, melalui berbagai
aktivitas fisik serta belajar keterampilan berolahraga. Jadi pemikiran di atas, menempatkan
pendidikan jasmani sebagai satu sumber untuk meningkatkan kebugaran jasmani
anak-anak di sekolah. Selayaknya anak
yang mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani memiliki tingkat kebugaran
jasmani yang baik. Namun kenyataannya
saat ini, masih banyak anak-anak memiliki kebugaran jasmani yang rendah karena
mengalami beberapa persoalan, diantaranya adalah obesitas.
Isu Obesitas Menyebabkan
Rendahnya Kebugaran Jasmani
Hasil survei sosial
ekonomi nasional, (Susenas 2004) dalam
Nerry A Sani, (2004:2) menyatakan ‘penyebab rendahnya kebugaran jasmani selain
pola makan tidak seimbang, kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah, juga
masalah kegemukan (obesitas)’. Menelaah
penyebab obesitas, pada umumnya berhubungan dengan pola makan tidak seimbang
antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Orang yang mengalami
obesitas, porsi makannya lebih banyak
karena tidak aktifnya hipotalamus.
Hipothalamus adalah bagian otak yang memberi sinyal kenyang sepuluh
menit sesudahnya.
Isu Rendahnya Kebugaran Jasmani
Anak
Sekarang ini penyakit
jantung tidak lagi menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak-anak dan
remaja sebagai dampak rendahnya kebugaran jasmani di berbagai jenjang
pendidikan di Indonesia. Rendahnya
kebugaran jasmani tersebut, terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh tim
pengembang Sport Development Index (Mutohir, dan Ali Maksum, 2007: 52) meneliti
kebugaran jasmani pelajar di seluruh Indonesia.
Hasilnya tidak ada yang baik sekali atau 0 %, katagori baik hanya 5,66
%, sedang 37,66 %, kurang 45,97 %, dan kurang sekali 10,71 %. Perihal ini menurut (WHO 2004)
apabila dapat dicegah lebih awal, maka akan mengurangi angka kematian
sebesar 2 juta orang atau 5479 orang yang meninggal dunia akibat penyakit
hypokinetik setiap tahunnya. (G. Petersen 2004;2). Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan,
sehingga dapat dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat selama
ini. Karena itu, masyarakat perlu
didorong untuk melakukan berbagai aktivitas jasmani secara sistematis, dan
berkelanjutan.
Isu Pentingnya Kebugaran Jasmani
Meningkatkan Kualitas Hidup
Pemerintah Republik
Indonesia melalui kerjasama Departemen Kesehatan (Depkes) dengan instansi yang
terkait, berupaya menyusun strategi kebijakan pembangunan baru didasarkan pada
“Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan dan Kebugaran Jasmani”. Gerakan ini dicanangkan oleh Presiden
Republik Indonesia pada pembukaan rapat kerja kesehatan nasional Depkes pada
tanggal 1 Maret 1999 sebagai sebuah strategi.
Strategi ini merupakan strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010
dikenal sebagai paradigma sehat, yaitu
fit for health atau move for health.
Artinya bergerak agar sehat dan bugar.
(Pribakti,
2009:10b). Program Indonesia sehat 2010
tersebut, menghendaki agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat berperilaku
hidup sehat dengan mengoptimalkan lingkungannya untuk mewujudkan masyarakat
madani (Civil Society), yaitu masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur
berkeadilan. Jika pembinaan tersebut
dibarengi dengan pembinaan bakat olahraga, maka di kemudian hari akan
menghasilkan prestasi olahraga.
Isu Kemampuan Mempelajari Gerakan
Yang Baru (Motor Educability)
Isu ini berpangkal akibat
ketidakpahaman guru tentang hakikat tubuh anak yang sesungguhnya berbeda dengan
fisik orang dewasa. Keadaan ini
diperparah lagi adanya perilaku guru cenderung malas dan kurang mencintai tugas
itu dengan sepenuh hati, sehingga dalam
memberikan tugas geraknya melanggar prinsip developmentally appropriate
practice (DAP), yakni tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan
anak. Kepada anak diberikan tugas gerak
melebihi dari kemampuan fungsional tubuhnya, sehingga untuk mempelajari gerakan
yang baru (new motor skill) anak-anak mengalami hambatan dalam proses
pembelajaran pendidikan jasmani.
Motor educability menurut Rusli
Lutan (1988:115) adalah kemampuan umum untuk mempelajari tugas gerak secara
cermat dan cepat. Motor educability juga merupakan salah satu faktor yang turut
mempengaruhi tingkat penguasaan suatu keterampilan gerak. Jika seseorang
memperlihatkan penampilan (performa) dalam menguasai gerakan dengan kualitas
dan kuantitas yang baik, maka orang itu dikatakan memiliki tingkat motor
educability yang baik pula. Selanjutnya Rusli Lutan (1988:116) menegaskan bahwa
motor educability erat hubungannya dengan koordinasi gerak. Semakin tinggi
tingkat motor educabilitynya, maka semakin tinggi pula koordinasi geraknya.
Menurut Harsono (1988:220) yang dikatakan koordinasi gerak yang baik, bukan
saja mampu melakukan suatu keterampilan secara sempurna, akan tetapi juga mudah
dan cepat dalam mempelajari gerakan yang baru (new motor skill). Faktor semacam
inilah yang menjadi fukos dalam penelitian ini, karena selain bisa dijadikan
pertimbangan untuk menetapkan suatu keterampilan, juga untuk membedakan dan
untuk mengelompokkan anak ke dalam kelompok
individu lainnya, baik dalam berolahraga maupun sosial berbudaya serta perilaku
berkarakter dalam kehidupan masyarakatnya.